MAKASSAR, KOMPAS — Pengguna bahasa Indonesia sering tidak peduli kaidah berbahasa yang benar dalam menyampaikan gagasan, baik tertulis maupun lisan, terutama dalam forum formal. Padahal, pesan yang disampaikan akan lebih dipahami kalau disajikan dalam bahasa yang benar.
Hal tersebut mengemuka dalam acara Klinik Bahasa: Kompas Menjaga Bahasa yang diselenggarakan harian Kompas dalam ajang Makassar International Writers Festival (MIWF) 2018 di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (3/5/2018). Narasumber acara tersebut yakni pegiat bahasa Indonesia Ivan Lanin dan Penyelaras Bahasa Kompas Apolonius Lase. Acara dihadiri 80 peserta yang kebanyakan mahasiswa.
Ivan mengatakan, banyak orang berprinsip salah terkait berbahasa yang benar. “Banyak orang menyatakan yang terpenting pesan yang disampaikan dimengerti. Orang lupa kalau sesuatu disampaikan dengan benar dan indah, orang lain juga akan memahami dengan benar. Ini memang masalah mentalitas, yaitu usaha lebih keras untuk berbahasa yang benar,” ujarnya.
Ivan membandingkan sikap penutur bahasa Indonesia yang bisa mengikuti kaidah ketat saat berbahasa asing. Seharusnya, hal sama diterapkan dalam berbahasa Indonesia karena setiap bahasa punya kaidah.
Bahasa Indonesia yang benar adalah penggunaan bahasa, terutama dalam forum formal yang sesuai dengan kaidah ketatabahasaan, seperti kata baku dan penggunaan serapan bahasa asing.
Menurut Ivan, generasi milenial harus membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang benar. Selain sebagai bentuk penghargaan terhadap kekayaan Nusantara, penguasaan terhadap bahasa juga bisa menjadi profesi, contohnya penulis dan wartawan.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat saat ini, tak sulit mengasah kemampuan berbahasa yang benar. Saat ini, kamus bahasa Indonesia tersaji dalam bentuk digital sehingga mudah untuk mencari acuan.
Peran media
Sementara itu, menurut Apolonius, media massa berperan dalam menciptakan dan memperbaiki bahasa. Ia mencontohkan, pada tahun 2009, harian Kompas menciptakan istilah “petahana” sebagai padanan incumbent. Kata tersebut lalu diterima sebagai kosakata baru.
Media massa juga berfungsi memperbaiki salah kaprah bahasa dalam masyarakat. Contohnya, selama ini pedestrian dipahami sebagai jalur pejalan kaki atau trotoar. Padahal, kata serapan tersebut artinya pejalan kaki. Media harus membetulkannya.
Ajang MIWF diselenggarakan untuk kedelapan kalinya tahun ini. Ajang yang berlangsung 2-5 Mei tersebut mempertemukan pegiat literasi, penulis, dan sastrawan utuk berdiskusi dan berbagai pengalaman. Tak hanya penulis dari dalam negeri, penulis luar negeri pun turut mengambil bagian.
Penggagas MIWF Lily Yulianti Farid mengatakan, forum tersebut merupakan bentuk kekuatan masyarakat (people power) karena pegiat dan peminat datang secara sukarela. Mereka digerakkan oleh keinginan yang sama untuk melakukan transformasi intelektual dan kultural. (VDL)